Oleh : Alluragilius Whichisae

“Jadi kita kaya wisata sejarah di malam hari gitu sih. Seru banget tapi sensasinya. Sesuai sama taglineLive and let the Bandung spirit be alive‘ kamu harus ikut aku ke Bandung pokoknya.”

Cerita seru Altaf kubalas dengan senyum lebar sementara kedua mataku terus berusaha untuk selalu menatapnya. Oke, menatap ke mana pun asal jangan pada sosok lelaki yang saat ini sedang duduk di sebelah cowok itu sambil terus memandangku. Iya, hantu. Sosok itu mungkin sudah sadar kalau aku bisa melihatnya.

Pertanyaanku juga mungkin sudah terjawab tentang bagaimana sosok ini bisa mengikuti Altaf sekembalinya cowok itu dari Bandung. Dengan setelan kemeja, gaya rambut zaman dahulu dan wajah campuran itu, sudah kupastikan memang museum yang diceritakan Altaf adalah tempat sosok ini berasal.

Tanpa sadar, aku menahan nafas saat pandangan kami bertemu. Gawat, dugaanku benar, sosok yang kini tersenyum lebar itu sudah tahu bahwa aku bisa melihatnya. Aku bahkan yakin mendengarnya tertawa kecil.

“Taf, aku balik ya,” kataku pelan.

“Loh, tumben siang gini…”

“Ngantuk nih, mumpung ga ada kelas mau tidur siang,” aku memotong ucapan Altaf sambil bangkit. Kami sedari tadi memang sedang duduk di gazebo untuk makan siang selagi menanti kelas sore yang ternyata diliburkan.

“Dre,” Altaf menahan lenganku, “Kamu gapapa?” tanyanya kemudian.

Aku mengangguk dan tersenyum sebelum kemudian mengelus pipi kirinya lembut. “Habis rapat langsung pulang ya,” ucapku sebelum kemudian melangkah keluar dari gazebo.

“Bawa saya pulang,”

Kabar baik, sosok yang mengikuti Altaf sekarang gantian mengikutiku. Aku bisa mendengar bisikan halusnya dengan jelas. Pulang? Kemana?

“Anda pasti tahu, tadi anda sudah mendengar cerita laki-laki itu,” sahutnya sambil tetap mengikuti berjalan di koridor. Maksudku tidak, dia tidak berjalan.

Tunggu, yang dia maksud Bandung? Museum Asia Afrika?

“Iya, Asia Afrika, nona,”

Aku berhenti melangkah mendengar jawaban itu. Dengan tatapan tidak habis pikir aku melirik ke arah hantu yang bahasanya amat formal ini. Kenapa harus aku yang membawanya pulang?

“Karena laki-laki tadi adalah kekasih anda,” jawabnya sambil tersenyum lebar.

Aku menyipitkan mata dan menghela nafas kasar. Menyebalkan, dia tahu bagaimana harus menyerangku. Tak apa, dia adalah sesuatu yang memang seharusnya aku hadapi. Baiklah, ini demi Altaf.

 

*****

 

“Nama saya Aldrick,”

Aku melirik ke arahnya sebal. Memang nama yang cocok untuk wajah campuran yang dimiliki sosok pria ini. Tapi terserahlah, aku tidak peduli. Aku masih kesal karena dia membuatku membeli tiket kereta eksekutif ke Bandung, yang harganya sama dengan uang jajanku satu minggu dengan cara mengancam akan merasuki orang-orang di stasiun.

“Saya ingin tahu rasanya naik di kelas ini,”

Oke, jangan bingung kenapa si Aldrick ini selalu bisa menjawab atau menanggapi isi pikiranku. Ini karena aku mengizinkannya untuk mendengar, meskipun tetap saja aku masih bisa membatasinya. Kalian mungkin akan bingung mendengar cara kerja hubungan komunikasi ini jika kujelaskan lebih lanjut.

“Saat itu delapan belas April,” ucapnya tiba-tiba. Wajah Aldrick tengah menghadap jendela. Hari sudah mulai gelap.

“Pertemuan anti-imperialisme pertama di negara Asia dan Afrika setelah 28 tahun pertemuan yang sama terjadi di Brussel. Tahu itu dimana?”

Aku menggeleng. Oh, ia tengah bernostalgia rupanya.

“Itu di Belgia. Kenapa ilmu pengetahuan sosialmu dangkal sekali,” omel Aldrick sambil menggelengkan kepalanya dan menatapku sedih.

Hei, kenapa aku yang dimarahi? Lagipula aku ini anak IPA.

“Tetap saja kau harus lebih banyak membaca dibandingkan memadu kasih,” sekarang Aldrick memberiku nasihat. Ujung bibirku sedikit terangkat saat mendengar kata-kata ‘memadu kasih’ yang ia ucapkan. Itu kuno sekali.

“Saya adalah saksi saat Wisber Loeis dulu ketakutan karena harus menelpon Konsul Muhamad Junus untuk meminjam mobil dari kedutaan India. Muhamad Junus itu bak jembatan antara Indonesia dan India sejak kekuasaan kita terpusat di Yogyakarta. Tunggu, kau tahu Wisber Loeis kan?”

Aku menyipitkan mata dan menggelengkan kepala saat sadar dia mulai bisa meledekku.

“Ya ampun, dia itu mantan duta besar di Jepang. Sejak kuliah Akademi Dinas Luar Negeri kami sering bekerja bersama,” jelasnya sambil menatap langit-langit kereta api. “If only I were still alive…”

Seandainya Aldrick masih hidup, mungkinkah dia juga menjadi salah satu duta besar Indonesia di negara lain? Aku ingin sekali bertanya kenapa dia bisa meninggal dunia karena sosoknya sekarang mungkin masih seperti mahasiswa angkatan tua. Tetapi berdasarkan pengalamanku, itu adalah hal yang sensitif bagi para hantu.

“Dulu kami harus mencari banyak sekali pinjaman mobil karena saat itu pemerintah belum punya banyak mobil. Untung saja Abah Landung banyak koneksi di Kota Kembang. Kami akhirnya bisa mengumpulkan 143 mobil sedan, 30 taksi dan 20 bus beserta 230 orang supir,”

Nostalgianya belum selesai ternyata. Tetapi kenapa banyak sekali mobil yang dibutuhkan?

“Tentu saja banyak. Total tamunya saja mencapai 1500 orang. Bukan hanya peserta konferensi, ada juga pewarta dari dalam maupun luar negeri,” jawabnya.

Aku kembali terkikik saat mendengar kata ‘pewarta’ yang dia gunakan. Itu juga kuno sekali.

“Kau mau tahu bagian paling seru dari konferensi ini?” tanya Aldrick tiba-tiba sambil tersenyum jahil.

Tolong ingatkan aku bahwa Aldrick bukanlah manusia. Kenapa senyum jahil hantu ini tiba-tiba terlihat memesona? Tenang saja, dia tidak bisa mendengarkan isi pikiran liarku tadi.

“Saat itu para petinggi makan siang di Rumah Makan Madura di Jalan Dalem Kaum. Saya masih sangat mengingat ekspresi wajah Gamal dan Nehru. Kau tahu mereka itu siapa?”

Aku merenggut sebal. Lagi-lagi hantu ini mencoba mengejekku.

“Gamal Abdul Nasser itu Presiden Mesir. Kalau Nehru, aku lupa nama depannya, pokoknya dia itu Perdana Menteri India,” Aku menjawabnya dengan suara yang agak keras.

Membuat sepasang suami istri yang duduk di deretan bangku sejajar dengan kami melihatku aneh. Tentu saja aneh. Aku bicara sendirian seolah-olah ada orang lain di sini. Untung saja di bangku ini tidak ada penumpang lain.

“Jawaharlal Nehru,” Aldrick tampak mengoreksi dan sama sekali tidak sadar bahwa aku sedang merasa terintimidasi. “Waktu itu yang pertama kali dihidangkan adalah kobokan. Lalu tiba-tiba saja Gamal dan Nehru meminumnya,” ucapnya sebelum mulai tertawa keras. Aku masih mencoba mencerna sambil membayangkan sebelum kemudian ikut tertawa keras.

“Petinggi negara minum air kobokan? Hahahaha,” celetukan itu keluar di sela-sela tawa kerasku. Sepenuhnya lupa bahwa aku masih diawasi oleh pasangan suami istri di deretan sana.

Aku mencari handphone dari dalam tas sebelum kemudian pura-pura membaca sesuatu sambil mencoba meredakan tawaku mengalihkan pandangan dari wajah menawan Aldrick yang juga sedang tertawa renyah. Ini pertama kalinya aku bisa tertawa bersama hantu.

“Oh ya, nona. Kalau kau mau istirahat tidak apa-apa. Aku akan berjaga,” hantu itu tiba-tiba berkata.

Aku tersenyum sebelum kemudian menggeleng. Seru juga belajar sejarah dari saksinya langsung. Ya, meskipun itu berarti dari sesosok hantu. Aku rasa perjalanan untuk mengantar hantu ini pulang bukan ide yang buruk.

 

*****

Bersambung…