Oleh: Alluragilius Whichisae

Aku membalikkan badan dan kembali melihat ke layar ponselku, wajahnya benar-benar sama. Sosok itu benar-benar ada. Bahkan mondar-mandir di sekitar gedung LKM ini dengan pakaian lusuh dan bertelanjang kaki. Dia bukan hanya cerita bohong buatan orang-orang yang sedang sibuk berkampanye.

Namanya Aidil Wicaksana dan belakangan disebut AW, penyebab kehebohan selama beberapa hari di fakultas bahkan universitas, karena kemunculannya dalam kampanye Pemilihan Wakil Mahasiswa Fakultas Ilmu Komputer 2016. Oke, itu bukan hal aneh kalau saja dia memang benar-benar ada. Karena nyatanya AW sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu karena kecelakaan di saat kampanye PEMILWA.

Sebuah official account yang followers-nya bahkan masih kosong memposting sebuah poster dengan wajah AW ditambah kalimat-kalimat kampanye dan tagline yang sedang semarak di fakultas kami. Tanpa mengikuti akun tersebut, orang-orang yang pernah mengenal AW dengan heboh membagikan postingan itu dan muncul lah isu baru mengenai ‘Hantu PEMILWA’.

Seharusnya ini memang bukan urusanku dan lagi pula mungkin ini hanya akal-akalan tim sukses para calon. Masalahnya adalah Altaf, cowok yang sekarang menjadi pacarku dan baru saja terbebas dari hantu wanita bertangan keriput, maju jadi calon Wakil Presiden. Ditambah lagi kenyataan bahwa AW yang kini bukan sesosok manusia benar-benar ada membuatku sangat khawatir.

“Woi!”

Aku terdiam. Jantungku berhenti sesaat. Tangan besar yang menepuk bahuku keras dan suara beratnya itu membuat aku ingin pingsan saat itu juga. Siapa lagi makhluk yang berhasil aku identifikasi sebagai manusia yang akan melakukan itu kalo bukan Bubur.

“Gue kaget tau!” protesku sembari memukul lengannya keras.

“Selaw dong! Sakit nih!” manusia itu mengusap lengannya yang besar itu sambil menatapku sebal. “Siapa suruh lo ngelamun di depan WC kayak gini,” omelnya kemudian.

Bubur benar. Aku masih berdiri di depan pintu kamar mandi dan mungkin sedikit menghalangi jalan kalau saja gedung ini tidak sesepi sekarang. Kenyataan tentang makhluk bernama AW itu jujur membuatku panik.

“Lo habis liat setan ya?” tanya Bubur tiba-tiba. Saat ini wajahnya terlihat khawatir. Aku lagi-lagi memukul lengannya, meskipun tidak sekeras tadi, karena ucapannya itu sukses membuat beberapa makhluk di sekitar kami menyadarinya.

“Gue peringatkan lo sekali lagi, jangan pernah bahas masalah ini di mana pun,” ucapku dingin sebelum kemudian meninggalkan Bubur yang langsung meminta maaf.

Aku benar-benar tidak suka jika banyak orang tahu mengenai kemampuanku melihat hantu. Untuk manusia, mereka akan menganggapku aneh dan mulai memanfaatkan kemampuanku ini untuk hal-hal yang tidak penting. Sedangkan untuk hantu, kupastikan akan ada beberapa yang mengikutiku pulang ke rumah nanti.

“Kamu kenapa?” seseorang menahan tanganku saat aku tengah berbelok di koridor. Altaf. cowok itu terlihat agak berantakan karena kemeja yang dikenakannya kusut dan rambutnya pun acak-acakan. Altaf pasti lagi-lagi lupa untuk laundry baju, telat bangun dan akhirnya memakai kemeja yang sudah digunakannya beberapa hari lalu tanpa disetrika. Kebiasaan yang benar-benar buruk.

Baru saja ingin memprotes hal itu, mataku menangkap sosok AW yang berdiri sekitar tiga meter di belakang Altaf. Dengan wajahnya yang pucat dan satu luka besar di bagian pipi hingga ke leher, AW terus menatap punggung Altaf. Hal itu membuat tanganku bergetar. Apa yang membuatnya seperti itu dan kenapa Altaf?

“Dre, kamu kenapa?” Altaf memegang kedua bahuku dan menatapku khawatir.

Aku mengangkat tangan kananku untuk menyentuh pipi kiri Altaf. Rasanya sangat hangat dan gemetarku berkurang sedikit demi sedikit. “Apa kamu yang menyebarkan viral AW itu?” tanyaku akhirnya sambil menatap Altaf dengan serius.

Altaf agak terkejut karena pertanyaanku. Ekspresi wajahnya seketika berubah menjadi muram. Altaf terlihat merasa bersalah. “Itu ide salah seorang tim sukses kami,” sambil menurunkan tangan kananku dan menggenggamnya Altaf menjawab. “Kenapa kamu tau?” tanyanya kemudian.

“Aku melihat AW, Taf,” jawabanku itu membuat Altaf refleks memelukku. Hal yang mungkin tanpa sadar selalu dilakukannya jika kami tengah membahas soal hantu.

“Maafin aku,” Altaf mengusap punggungku dan rasanya hangat sekali. Aku tidak lagi gemetar meskipun kini sedang bertatapan dengan AW yang sepertinya mendengarkan obrolan kami.

“Kenapa kalian harus kampanye dengan cara seperti itu?” tanyaku lagi. Iya, benar, kenapa mereka perlu menghalalkan segala cara untuk meraup suara? Baru kampanye saja sudah seperti ini, apalagi jika mereka terpilih dan mulai memimpin?

Padahal, tanpa perlu melakukan hal-hal heboh saat kampanye, Calon Presiden yang merupakan pasangan Altaf dan juga Ia sendiri sudah memiliki nama di fakultas kami. Orang-orang mengenal mereka dan mengetahui kinerja mereka yang baik saat di himpunan, hasil tes tulis mereka pun cukup tinggi.

“Aku janji akan segera menghentikan isu ini,” ucap Altaf tanpa menjawab pertanyaanku, “Dan bisakah kamu sampaikan maafku pada AW nanti?” lanjutnya.

Aku tertawa kecil mendengar hal itu. AW tentu saja sudah mendengarnya. Hantu itu bahkan sudah tidak lagi mengawasi kami dan sepertinya tampak lega.

“Kak Aidil sudah dengar semuanya kok. Dia maafin kamu,” ucapku kemudian.

“Aidil?” tanya Altaf bingung sambil melepas pelukannya. Melihat anggukanku Altaf seakan menyadari sesuatu dan wajahnya berubah pucat. Dia memelukku lagi dan berbisik, “Jadi dari tadi dia ada di sini?”

*****