Oleh: Anissa Roseira Novenda
Sosok mungil itu begitu lusuh namun manis. Ia merupakan putri dari keluarga kurang mampu. Tetapi ia begitu mulia. Tiap Senin pagi, ia datang di depan tiang bendera di tugu perumahan. Dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, ia mengibarkan bendera yang telah dimakan usia.
Di balik kaca mobil, aku selalu menatapnya iba. Gadis cilik yang berkelabang itu tak memakai seragam. Ah! Apakah ia tak bersekolah?
Senyumku terkembang dikala ia menautkan jemari – jemari kanannya di pelipis mata. Menunjukkan rasa hormatnya kepada Sang Merah Putih.
Aku memukul pelan bahu Pak Supir untuk berhenti sejenak. Segera, ku berlari mendekatinya. Namun, ia takut dan reflek menjauhkan diri.
“Hai, tenang saja. Aku adalah sahabatmu. Terimalah.”
Kedua manik matanya melirik bekal yang ku sodorkan padanya.
Ku ulangi lagi. “Terimalah, Dik.”
“Untuk Tasya?”
“Oh namamu Tasya. Tentu saja ini untukmu, Sya.”
Ragu – ragu, ia mengambil bekal berwarna ungu terong. Di dalamnya terdapat beberapa kue coklat buatan Bunda.
Semilir angin menemaninya dalam perjalanan pulang menuju gubuk mungilnya. Ia bersenandung sembari melompat – lompat kecil membuat kuncir kelabangnya bergoyang. Ia sangat senang ku beri bekal. Ia memeluknya erat. Tak masalah bagiku tak dapat bekal, aku bisa mendapatkan makan siang di sekolah.
Aku berdiri di depan tiang bendera, menatap Sang Mega Merah Putih. Aku pun memberi penghormatan. Sekilas, ku lirik Pak Supir yang turun dari mobil dan memberi penghormatan pula dari kejauhan.
Di sekolah aku dikenal sebagai siswi yang cerdas. Namun aku tak pernah sombong. Siapapun dapat menjadi sahabatku. Aku akan menggenggam erat tangan mereka dikala mereka membutuhkan pegangan.
Menjelang sore, si gadis cilik datang kembali di depan tiang bendera di tugu perumahan untuk menurunkan bendera. Alangkah tragisnya, sore itu hujan turun deras mengakibatkan bendera usangnya basah kuyup. Ia menangis sembari memeluk bendera. Tubuhnya yang kecil rentan jika disentuh itu bergetar antara kedinginan dan sedih.
Aku sungguh tak tega melihatnya. Bergegas ku keluar mobil, tak pedulikan teriakan Pak Supir agar memakai payung. Aku mengelus punggungnya lembut. Takut melukai sayap indahnya yang kasat mata. Ya, ia bagai bidadari cilik nan baik hati.
Tatapannya menerawang diriku dengan linangan air mata yang memilukan. Tanganku tergerak untuk menghapus linangan air matanya yang menganak sungai.
“Berhentilah menangis, Sya. Kakak sakit melihatmu menangis. Bagaimana kalau Tasya tersenyum? Kakak yakin Tasya sangat cantik.”
Aku menarik ke atas kedua sudut bibirnya. Lalu ia pun tersenyum amat manis. Ia bak bidadari cilik yang penuh pesona.
Rintik hujan yang deras tak terasa membasahi tubuh. Aku menengadah ke atas. Ternyata Pak Supir memayungi kami. Aku tersenyum membalas senyuman Pak Supir.
Aku menuntun Tasya memasuki mobil. Awalnya ia menolak, tapi aku membujuknya apabila aku ingin memberikan banyak kue buatan Bunda yang tadi pagi ku berikan padanya.
“Kak, kue yang kakak berikan sangat lezat. Bapak, Ibu, dan Mas Angga suka. Tapi tempat bekalnya masih ada di rumah.”
“Tempat bekal itu memang untuk Tasya. Dan mereka menyukai kuenya? Wah, baiklah kakak berikan lagi yang lebih banyak seukuran gajah dumbo!”
Ku buat ia tertawa. Tawanya memecah keheningan dalam perjalanan pulang menuju istanaku. Walau tak se – istimewa surga, aku bersyukur memiliki istana kecil yang dapat dijadikan tempat berlindung dari panas dan hujan bersama dengan Ayah – Bunda.
Segelas coklat panas ku berikan pada Tasya, mungkin akan sedikit mengurangi rasa dingin. Lalu ku berikan sebuah pakaian yang cocok dengan badan mungilnya. Ku lihat ia puas memakai pakaian tersebut.
Menjelang malam, Ayah dan Bunda pun pulang dari kantor. Aku berlari menghampiri dan mencium tangan keduanya, Tasya pun sama.
Diiringi camilan kue buatan Bunda, kami mengobrol santai di ruang keluarga. Awalnya, Ayah dan Bunda asing dengan Tasya, namun kini telah akrab. Karena percakapan itu, aku tahu bagaimana latar belakang si gadis cilik pengibar bendera. Ternyata ia putus sekolah dikarenakan orang tuanya berusaha melanjutkan pendidikan kakaknya ke Sekolah Menengah Atas. Sedangkan ia hanya bersekolah sampai kelas 3 Sekolah Dasar.
Kegiatan rutinnya Senin pagi itu juga sebagai wujudnya rindu pada bangku sekolah. Mengapa gadis se – cilik dia harus mengalami derita, tetapi ia mampu bertahan dengan senyumnya yang lugu?
Minggu pagi nan damai, kami mengantarkan Tasya pulang karena semalaman menginap. Sekaligus bersilaturahmi.
Pemukiman itu begitu kumuh, warganya memakai pakaian compang – camping atau lusuh seperti yang dikenakan Tasya biasanya. Bibirku yang terkatup bergetar. Nian malang garis kehidupan mereka. Adakah gerangan – gerangan yang terketuk pintu hatinya? Kedua tanganku tak cukup menggenggam tangan – tangan mereka. Generasi penerus bangsa sedang duduk menanti Anda untuk berdiri dan berlari bersama.
Gubuk mungil itu terbuat dari anyaman bambu. Aku menengadah ke atas, beberapa atapnya berlubang. Apabila hujan akan kebocoran. Ruang yang aman hanyalah ruang tamu. Namun, di sudut ruang tersebut terdapat banyak sarang laba – laba. Ingin rasanya aku menangis melihat kondisi mereka.
Aku memberikan kue buatan Bunda di wadah toples kepada Angga, kakak Tasya. Aku dan Angga sama – sama kelas 1 SMA. Sayangnya, ia jurusan bahasa dan aku jurusan MIPA.
Kedua orang tuaku dan kedua orang tua Tasya sedang berbincang di ruang tamu. Sedangkan aku dan Tasya bermain permainan tradisonal yaitu engklek bersama dengan anak – anak pemukiman.
“Venda, ayo pulang!”
Bunda memanggilku untuk pulang. Sebelum pergi, aku melambaikan tangan kepada mereka. Lain waktu aku akan kembali, saling berbagi keceriaan.
Ayah dan Bunda telah mengabulkan permohonanku agar si gadis cilik mulia itu dapat duduk kembali di bangku sekolah. Namun, ia tetap menjalankan aktivitas rutinnya tiap Senin pagi. Yakni, mengibarkan Sang Pusaka NKRI. Bedanya, ia tak lagi memakai pakaian lusuh, ia memakai seragam merah putih dan menyandang tas punggung.
Selesai memberi penghormatan, aku menarik pergelangan tangannya untuk memasuki mobil. Berangkat menuntut ilmu tak kenal batas. Agar menjadi generasi bangsa yang cerdas dan berintelektual tinggi.
Biasanya, aku datang menuju pemukiman kumuh itu. Tasya selalu menemaniku jika aku kesana. Aku memberikan buku bacaan anak – anak yang dapat mereka baca. Terkadang, aku mengajari mereka untuk membaca atau mengenal huruf dan angka. Ya, hanya inilah yang mampu ku berikan.
Tak lupa, kami juga bermain permainan tradisional dan bercanda bersama menghilangkan kepenatan. Sesekali Tasya memutari kami dengan membawa bendera. Ia bergaya bak seorang super hero yakni Superman. Kami tertawa terpingkal –pingkal karenanya.
Kehidupan ada yang di atas, menengah, atau di bawah. Oleh karena itu, kita tak boleh angkuh. Pandanglah ke bawah, saling – lah tolong – menolong, dan hiduplah rukun. Mari berpegangan tangan membentuk lingkaran. Menari dan menyanyi bersama sambut kebahagian yang indah.