Oleh: Dantya
“Apapun yang terjadi di langit itu adalah kehendak Tuhan. Apapun yang kami senangi, siapapun yang kami cintai, telah kami tinggalkan di ujung landasan,” -Unknown
Aku tak pernah mengerti apa pekerjaan Ayahku, yang ku tahu dia biasa terbang dengan overall-nya yang berwarna oranye terang. Aku masih tidur di kasur orang tuaku saat Ayahku membuka lemari bajunya dan mengambil overall oranye favoritnya. Dia akan memakainya dan ketika sadar Aku memperhatikannya dari kasur, dia akan menoleh padaku dan tersenyum lebar. Dia akan menarikan tarian bodoh untuk menghiburku yang dikiranya masih bayi kecilnya.
Aku tak pernah sadar apa hebatnya pekerjaan ayahku. Di sekelilingku, Ayah teman-teman bermainku di sekolah, semua punya pekerjaan yang sama seperti Ayahku. Apa hebatnya menerbangkan helikopter? Apa hebatnya pakai overall warna oranye terang yang menurutku norak itu? Apa hebatnya dinas keluar kota bahkan keluar negeri? Apa hebatnya pindah rumah karena pekerjaan? Apa hebatnya menjadi prajurit TNI AU? Aku malah kadang benci dengan pekerjaan Ayahku.
Aku benci Ayahku yang sering pergi untuk terbang malam, atau sering dinas keluar negeri. Ayahku yang sering tidak di rumah karena memang tugas di luar kota dan aku tidak ikut pindah karena sudah sekolah lanjut. Ayahku pernah sebatang kara tinggal di beberapa kota. Ibuku yang harus bolak balik menjenguknya dan kembali untuk mengurusku. Aku sering benci melihat betapa lelahnya Ibu, aku jadi sering menyalahkan ayah tanpa alasan.
Sosok Ayah dalam hidupku terasa asing. Aku yang masih menjadi remaja labil terlalu sulit menerima keberadaan ayah yang tiba-tiba datang ketika telah menyelesaikan tugas di luar kotanya. Pernah sekali aku ditinggal berdua dengan Ayah, tidak ada percakapan yang muncul. Hanya sekedar tanya kabar lalu kami masuk ke kamar masing-masing. Aku sampai memohon Ibu untuk pulang dari pelatihan kantornya karena tidak betah bersama Ayah. Aku jadi sering membenci Ayah tanpa alasan.
Pindah rumah bukan hal baru bagiku, lima kali Aku pindah rumah selama sekolah dasar. Itu angka yang sedikit, temanku ada yang pernah pindah 7 hingga 10 kali. Semua karena pekerjaan Ayahnya yang dipindah tugaskan. Awalnya aku tidak pernah keberatan untuk pindah, tapi ada satu hal yang menggangguku ketika dewasa. Setelah aku mengenal satu orang kemudian berteman, aku harus pindah dan meninggalkan teman-temanku. Kami berjanji akan mengingat satu sama lain. Tapi apa daya, aku terlalu sering mengenal wajah baru sehingga melupakan mereka di minggu keduaku di sekolah baru. Saat SMA Aku iri dengan teman sekelasku yang bersahabat dengan temannya sejak SMP bahkan sejak SD. Tapi Aku tidak pernah punya teman yang berteman denganku selama itu. Aku jadi sering menyalahkan pekerjaan Ayah tanpa alasan.
Aku tidak pernah sadar insiden kecelakaan helikopter yang Ayah terbangkan itu perkara besar. Ayah pernah sekali jatuh di sebuah bukit dan membuat pesawatnya hancur lebur. Beruntung Ayah masih selamat. Tapi, aku tidak pernah paham seberapa bahayanya pekerjaan ayahku. Aku tidak pernah paham maksud dari mata Ayahku saat dia akan berangkat terbang. Aku tidak pernah paham arti dirinya menciumku perlahan dan memelukku walaupun aku masih tertidur lelap. Aku tidak paham kenapa dia sering memberi kabar keberadaan pesawatnya ketika dinas keluar kota. Aku tidak pernah paham betapa senangnya ayah ketika diucapkan “hati-hati di jalan” atau sekedar doa diucapan “semoga selamat sampai tujuan”. Karena menurutku, itu resikonya kan?
Sampai sekarang aku baru sadar. Aku hanya anak kecil yang egois. Aku yang menurutku sudah dewasa tapi sebenarnya masih kecil rasa pedulinya terlalu egois sampai menganggap semua sama dan biasa saja. Sampai sekarang aku duduk termenung sambil memeluk anakku yang sejak tadi sudah terlelap. Tanganku gemetar saking banyaknya cairan yang keluar dari mataku. Kepalaku sudah mulai pening. Mataku juga sudah berat. Tapi tamu-tamu tidak hentinya berdatangan.
Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 1 malam di pergelangan tanganku. Jam tangan pemberian Ayahku pada Ibuku sewaktu tugas di Prancis melingkar di pergelangan tanganku. Jam kulit yang dulu tidak pernah rela Ibu berikan padaku. Boleh jam yang lain kecuali jam itu. Jam penunjuk kasih sayang terdalam dari Ayah untuk Ibu. Aku tersenyum kecil mengingat wajah Ayah.
Mataku teralihkan dengan suara isakan di sekelilingku. Aku hanya bisa menghela napas dan berusaha tidak menangis, takut membangunkan anakku. Tapi suamiku yang terbaring dan terselimut kain putih membuat tenggorokanku tersekat. Mataku kembali mengumpulkan air mata yang mulai kering. Hatiku sakit, pikiranku sakit, semuanya sakit. Sehabis sholat dhuhur siang tadi ada telepon bahwa pesawat suamiku jatuh di sekitar bukit. Baru setelah isya jasad suamiku selesai dievakuasi dan langsung dibawa ke rumah duka.
Suamiku jatuh persis di bukit tempat Ayah dulu pernah jatuh. Suamiku juga seorang penerbang helikopter, persis seperti Ayah. Suamiku sering membawaku dan anakku pindah karena pekerjaannya, persis seperti Ayah. Suamiku persis seperti Ayah, dan aku baru sadar betapa berbahayanya pekerjaan ini.
Aku terlalu egois yang hanya memikirkan diriku. Aku selalu mengeluh karena pekerjaan yang satu ini. Terlalu ribet, terlalu banyak aturan, terlalu mengekang. Aku tidak pernah melihat perasaan orang yang melakukan pekerjaan ini. Harus meninggalkan keluarga di rumah. Harus membawa beban tanggungan nyawa di tangan mereka. Harus bisa rela berserah pada Tuhan ketika berada di atas langit. Kenapa aku baru sadar? Kenapa ketika setelah semua terlambat yang tersisa hanya nama di overall oranye kebanggaan mereka.