Oleh: Alluragilius Whichisae
Mom menatap layar televisi begitu serius sambil beberapa kali berkedip. Dahinya mengerut lucu saat reporter televisi itu mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Korea. Ia sedang menonton liputan suasana pemakaman salah satu artis dari Negeri Ginseng yang beberapa hari lalu dikabarkan meninggal dunia karena bunuh diri. Aku sendiri sebenarnya sibuk membungkus keripik-keripik ringan untuk dana usaha panitia di kampus.
“Oh, mereka berlebihan sekali,” Mom tiba-tiba berucap sambil menggelengkan kepalanya. “Bulan berwarna biru kehijauan? Kau percaya itu?” tanyanya sambil melihatku meminta persetujuan.
Aku tertawa kecil sebelum mengangguk. Di dalam liputan televisi itu beberapa netizen yang diwawancarai menghubungkan pemakaman idolanya ini dengan fenomena alam. Sebab, di hari pemakaman artis itu kemarin mereka melihat penampakan bulan berwarna hijau kebiruan, warna yang sama dengan warna kelompok mereka.
“Artis muda tewas, waspada masa ‘hampa’ saat usia 27 tahun. Rene…”
Saat Mom mengucapkan itu aku menoleh. Nah, benar saja Mom sedang menatapku sedih. Aku tersenyum sebelum kemudian menaruh jari telunjuk dan tengahku di dada, membuat lingkaran di sekitar telapak tangan kiri, lalu membentuk angka dua puluh dengan jari-jariku.
“Berarti sebentar lagi kau akan 27,” sahut Mom dengan nada rendah. Dia sepenuhnya melupakan tayangan televisi dan menatapku semakin sedih.
Aku menggelengkan kepala, lalu membuat beberapa gerakan dengan kedua tanganku. Tidak semua orang yang berusia 27 tahun akan merasa ‘hampa’ kan? Apalagi sampai bunuh diri.
“Tetap saja ada yang namanya ‘27 Club’, dear. Kau ingat Jimi Hendrix? Atau vokalis The Doors Jim Morisson dan vokalis Nirvana Kurt Cobain? Ohiya, jangan lupakan Amy Winehouse juga.” Mom menyebutkan nama-nama penyanyi yang meninggal karena bunuh diri. Oh, mereka berusia 27 saat meninggal?
Aku kembali membuat gerakan dengan kedua tanganku, mengucapkan bahwa mereka semua adalah penyanyi. Apa yang dihkawatirkan dari seorang Rene yang hanya seorang mahasiswa biasa?
“Oh iya kau benar. Kalau begitu, Rene, kau tidak boleh berprofesi sebagai penyanyi ya,” saat mengucapkannya Mom tampak serius.
Aku yang saat itu sedang memasukan beberapa keripik ke dalam bungkus jadi terdiam. Mom berkata begitu seakan-akan lupa kalau anak perempuannya ini memang tidak akan pernah bisa menjadi seorang penyanyi sekalipun ia ingin. Berbicara normal saja aku tidak bisa, apalagi menyanyi. Aku kadang frustasi saat sulit memahami percakapan orang lain yang belum kukenal dekat. Aku harus terbiasa melihat gerakan bibir lawan bicaraku sekalipun aku mendengar suaranya karena kalau tidak, mungkin aku tidak akan mengerti apa yang dia ucapkan.
“Dear, aku tidak bermaksud,” Mom menggeser posisi duduknya saat menyadari bahwa ucapannya membuatku terdiam. Ia mengambil bungkusan-bungkusan dan keripik dari pangkuanku lalu menaruhnya di meja. Entah kenapa ruangan ini jadi terasa dingin sehingga aku memilih menaikkan kakiku ke sofa lalu menggulung tubuhku menerima pelukan Mom.
“Aku ingin kau selalu baik-baik saja. Tidak akan pernah merasa hampa dan selalu bahagia,” ucap Mom lagi sambil mengelus kepalaku.
Aku sudah 20 tahun tetapi aku masih sangat bergantung padanya. Aku tahu beban Mom lebih berat dari siapa pun. Gadis kecilnya yang dulu jatuh dari tangga dan terbentur kepalanya divonis menderita afasia sehingga mengalami keterbatasan dalam bicara. Perasaannya pasti sangat hancur apalagi saat itu aku masih menginjak bangku SMA.
Aku ingat betul bagaimana ia seringkali datang ke kamarku di malam hari secara diam-diam lalu mengelus bahuku lembut. Mom akan mulai terisak kecil hingga kelelahan sementara aku berpura-pura tidur sambil menahan tangis. Dia tidak akan berhenti jika aku tidak membuat gerakan terganggu.
“Aku…lapar,” ucapku terbata-bata karena rasanya sakit sekali setiap mencoba berbicara.
Mom yang tengah memelukku kemudian tertawa. Ia mengacak rambutku pelan sebelum kemudian menyuruhku segera menyelesaikan bungkusan-bungkusan itu dan mengikutinya ke dapur. Aku tidak langsung menuruti ucapannya. Aku memberinya sedikit waktu karena aku yakin saat keluar dari ruangan ini, ia akan mulai menangis.
Aku bukan seorang anak yang bisa mengucapkan kata-kata sayang dan mengharukan pada Mom. Berkata ‘I love you’ saja hanya kuucapkan saat aku mendapat jatah bulananku. Aku yakin Mom selalu tahu aku sangat menyayanginya dan bergantung padanya.
Tetapi setidaknya, di samping beban yang ia tanggung aku bisa membuatnya tertawa kecil. Aku mencoba membuatnya mengomel bahkan marah-marah, membuatnya khawatir, membuatnya memperhatikan kesehatan karena kemanjaanku.
Aku masih 20 tahun dan masa titik balik hidup seseorang tidak melulu di usia 27 tahun. Tapi Mom, sekalipun telah melewati masa 27 Club seperti yang ia katakan, ia hanya memiliki aku. Bukan si anak yang baik dan bisa dia andalkan. Aku khawatir terlalu sibuk dengan kehidupan kampus, teman-temanku, organisasi hingga justru akulah yang membuatnya merasa hampa.
“Perayaan hari ibu di kota Meksiko setiap tahunnya selalu menghadirkan kemeriahan yang…” suara reporter televisi itu membuatku berkedip lama. Aku menghela nafas. See? Aku bahkan lupa hari ini hari ibu.