Oleh: Sofita Hidayatul Maghfiroh

Dahulu kala, di sebuah desa, hiduplah tiga orang pemuda dengan pemikiran begitu hebatnya. Keseharian mereka hanyalah mengurusi kambing-kambing nakal yang akan mereka bawa ke bukit pada pagi hari dan pulang di sore hari. Galih, Aryo, dan Zidhan. Tiga pemuda dengan berbagai bualan imajinasi ajaib yang selalu mereka utarakan setiap harinya. Dengan cuaca yang begitu cerah di pagi hari ini, mereka segera bergegas membawa kambing menuju bukit.

“Dhan, kiranya kapan ya aku bisa jadi pangeran?” ucap Galih yang sedang bersandar di bawah pohon dengan tatapan kosong pada kambing-kambingnya yang sedang memakan rumput.

Zidhan yang sedang berbaring pada rumput-rumput yang mulai mengering pun menimpali dengan  nada serius.

“Jadi gini Gal, berdasarkan rasi bintang di pagi menjelang siang ini, ku lihat-lihat jum’at depan kau akan jadi pangeran”

“Ah serius ini Dhan, bosan aku setiap harinya hanya melihat kambing, kambing, kambing. Aku juga ingin jadi pangeran yang gagah, perkasa, menawan.” ujar Galih sambil menatap Zidhan dengan nada penuh frustasi.

Zidhan yang awalnya berbaring akhirnya duduk menatap Galih dan menghela nafas

“Paham aku Gal kambingmu kemarin mati 6 ekor, tapi ya kau mikir lah Gal, kita ini dari garis tujuh turunan ke atas semuanya cinta kambing, peternak kambing, sudah lah terima takdir kita ini”

Menjadi seorang pangeran memanglah impian Galih yang sudah sangat mungkin tidak akan terjadi. Setiap harinya bahkan Zidhan harus selalu bersabar mendengar setiap angan kosong yang diucapkan oleh Galih. Sementara itu, Aryo adalah satu-satunya dari mereka yang selalu semangat setiap harinya mengurus kambing-kambing. Aryo selalu yakin bahwa suatu pekerjaan yang dilakukannya dengan semangat di hari ini, maka akan hasil yang luar biasa pada hari lain. Selain itu, Aryo juga selalu menyemangati dirinya sendiri dengan kalimat yang selalu ia tanamkah pada hatinya di setiap hari yaitu “Jika kambingku jadi banyak, aku bisa membeli sapi, jika sapiku sehat dan jadi banyak, aku bisa beternak gajah, jika punya peternakan gajah, aku akan kaya.”

Aryo yang awalnya tidur dan sudah bermimpi bahwa ia bisa beternak gajah, terganggu dengan percakapan Galih dan Zidhan dan akhirnya bangun menghampiri mereka berdua.

“Kalau kau bagaimana Dhan? Ingin jadi pangeran juga ataukah tetap ingin bersama Ani?” Ucap Aryo dengan tertawa sembari duduk diantara Galih dan Zidhan

Ani adalah nama kambing betina putih kesukaan Zidhan. Kambing itu adalah kambing pemberian kakeknya. Karena seperti yang Zidhan telah katakan, bahwa garis tujuh turunan ke atas semuanya adalah peternak kambing. Ani begitu disayang oleh Zidhan apalagi setelah kambing tersebut melahirkan 2 ekor kambing betina dan 2 ekor kambing jantan.

“Aku senang Yo beternak kambing. Tapi, aku tidak ingin hanya beternak seperti ini, aku ingin bisa menjadi lebih baik dari kakek-kakeku sebelumnya” Ujar Zidhan

“Ah sudahlah, bosan aku setiap harinya kita pasti hanya membahas kambing. Ayolah ke sungai agar mataku ini bisa melihat ikan atau belut. Aku juga ingin mandi. Panas kali ini” Galih yang terlihat tidak tertarik dengan bahasan yang sedang dibicarakan pun akhirnya berdiri dan langsung berjalan menuju sungai yang jaraknya lumayan jauh ke arah barat.

“Woy Gal ikut Gal” Zidhan langsung berdiri dan menyusul Galih. Tak lupa ia berpamitan pada Ani terlebih dahulu

“Nitip kambing Yo” teriak Zidhan dari kejauhan

Aryo hanya tertawa kecil melihat Zidhan dan Galih yang begitu bersemangat ingin melihat ikan. Terkadang ia merasa heran, bagaimana bisa Galih masih mengeluh dan berkhayal selalu ingin jadi pangeran padahal kambing Galih jumlahnya paling banyak diantara mereka bertiga. Tapi, sebenarnya hal tersebut adalah hal yang wajar mengingat Galih adalah anak dari keluarga peternak kambing paling sukses di desa. Sedangkan Zidhan, jumlah kambingnya bahkan jauh lebih sedikit dari milik Galih tapi dia bersemangat mencari kegiatan sampingan lain seperti bekerja pada Pak Budi untuk menjual susu kambing, berjualan kayu bakar, dan lain-lain. 

Menjelang senja, Galih dan Zidhan kembali dari sungai. Mereka bertiga bergegas menggiring kambing-kambing mereka pulang. Tapi, lagi-lagi Galih kesal pada salah satu kambingnya yang tidak ingin digiring pulang.

“Udin, ayolah din kita pulang, udah mau malam ini.” ucap galih pada salah kambingnya bernama udin. Udin tentu saja hanya membalas dengan suara seolah-seolah dia sudah nyaman dengan rumput-rumput bukit.

“Kau tidak ingat din, kemarin jamal mati karena di makan serigala di sini” tambah galih. Jamal adalah salah satu dari enam kambing Galih yang mati dimakan serigala karena ia kesal kambingnya menolak pulang dan akhirnya ia meninggalkan keenam kambingnya tersebut di bukit.

“Makanya Gal, kambing tuh disayang. Nih, ani aja nurut mau pulang” Ujar Zidhan bangga pada kambing betina putih miliknya

Karena hari yang mulai gelap, akhirnya Aryo dengan sabar membantu Galih menggiring kambing-kambing pulang. Sedangkan Galih dengan wajah masamnya seolah enggan untuk mengurus kambing-kambing itu dan hanya berjalan dibelakang Aryo.

Beberapa bulan berlalu, wabah aneh muli menyerang hewan ternak. Setiap paginya bahkan selalu saja ada hewan ternak warga yang mati tanpa tau pasti apa penyakit penyebabnya. Semua warga desa merasa khawatir tak terkecuali juga Aryo dan Zidhan. Mereka berdua berusaha sebaik mungkin untuk menjaga kesehatan kambing ternak mereka dengan rajin membersihkan kandang, memberi makan rumput terbaik, dan memandikan kambing mereka dua kali sehari. Lain halnya dengan Galih yang tidak peduli dengan semua kambingnya.

Semua kambing Galih mati secara bergantian setiap harinya. Selama wabah berlangsung, ia bahkan semakin tidak peduli dengan kebersihan para kambingnya. Ia juga dengan senang hati mengubur kambingnya yang mati di belakang rumahnya. Ia berfikir bahwa dengan adanya wabah tersebut dan semua kambingnya mati, maka ia tidak perlu lagi mengembala kambing. Pagi itu, selesainya ia mengubur dua kambing terakhirnya, ia dengan santai duduk di depan rumahnya.

“Ah uang warisan kakekku kan masih ada, mengapa aku tidak mencalonkan diri menjadi kepada desa saja? Aku yakin dengan menjadi kepala desa pasti aku akan kaya raya” pikir Galih.

Semua cara Galih lakukan agar bisa menarik perhatian para warga desa. Akan tetapi, tentu saja pada saat hari pemilihan kepala desa, Galih kalah telak dengan kandidat lain karena warga desa sudah hapal dengan tujuan hidup Galih yang merupakan angan kosong untuk jadi pangeran. Warga desa juga tahu bahwa Galih tidak akan pernah bisa memimpin desa karena tujuannya  hanya untuk jadi kaya raya.

Wabah berlalu dengan begitu lama. Galih telah menjual rumah besarnya karena ia tidak lagi memiliki uang untuk biaya hidup sehari-hari. Sementara itu, kedua teman Galih, Zidhan dan Aryo, mereka berdua merasa senang dan lega karena wabah telah selesai dan mereka berhasil melewatinya. Dengan penuh kesabaran, akhirnya Aryo bisa mengembangkan peternakannya menjadi lebih besar. Meskipun tidak bisa membeli gajah, Aryo berhasil membeli beberapa sapi dan kuda dan mengembangbiaknnya. Sementara Zidhan, setelah sekian lama ia bekerja pada Pak Budi, akhirnya ia memilih untuk berjualan susu kambing secara mandiri. Zidhan merasa senang akhirnya ia bisa menemukan pekerjaan lain selain hanya beternak kambing. Ia dengan sangat giat mengembangkan tempat penjualan susu kambing miliknya hingga dikenal di seluruh desa.

“tamat” ucap Ninda seraya menutup buku dongeng yang ia bacakan kepada anak-anak panti asuhan

“Coba sekarang kak Ninda tanya, apa yang tidak boleh kita contoh dari tokoh Galih?” tanya Ninda kepada anak-anak.

“Tidak boleh jual rumah kak” Teriak salah satu anak sambil mengangkat tangan.

“Hahahaha iya Ibnu, benar sekali. Selain itu, kita di sini jangan mencontoh tokoh Galih ya, karena dari cerita yang kakak bacakan tadi, tokoh Galih ini kan sudah dapat kambing banyak dari ayahnya, tapi dia tidak mau bersyukur dan malah menyia nyiakan kemudahan yang sudah Tuhan berikan ke dia” jelas Ninda.

“Jadi harusnya Galih beternak kambing saja ya Kak biar jadi banyak kambingnya” tanya Ibnu

“Nah, seharusnya tokoh Galih ini bersyukur atas apa yang ia dapat. Coba kalian ingat tokoh Aryo dan Zidhan. Tokoh Aryo disini adalah contoh bahwa kita harus bersyukur dan tidak boleh takut bercita-cita setinggi mungkin. Awalnya dia ingin bisa beternak gajah, tapi dengan usaha yang giat dan ikhlas, akhirnya ia bisa membuat peternakannya jadi besar. Meskipun bukan gajah, tapi Aryo bisa beternak sapi dan kuda. Sedangkan tokoh Galih dia hanya mengeluh, marah, dan suka berkhayal” jawab Ninda dengan semangat

“Sedangkan dari tokoh Zidhan, kita bisa belajar bahwa kalau kita ingin sesuatu kita juga harus berani bergerak mewujudkannya. Kalian pasti ingat kan kalau tokoh Zidhan ini ingin punya pekerjaan lain selain beternak? tokoh Zidhan ini dia mau mewujudkan keinginannya itu dengan ikut bekerja menjual susu dengan Pak Budi. Hingga akhirnya dia  bisa tuh punya pengolahan susu kambing sendiri” sambung Ninda

Melihat anak-anak panti asuhan yang mulai mengantuk, Ninda mengakhiri cerita dongengnya. Setiap malamnya, ia memang selalu rajin menyempatkan waktunya untuk mengunjungi panti asuhan dekat rumahnya tersebut. Namun, karena hujan deras yang tidak kunjung reda, akhirnya ia membacakan dongeng untuk anak-anak panti asuhan. Setelah anak-anak tidur, ia bergegas mengambil payung dan pulang karena hari juga sudah semakin larut. Ninda merasa senang karena hari ini ia bisa mengajari anak-anak panti asuhan untuk bisa bersyukur dan berani bermimpi.