Oleh: Igotya
“Urip iku urup, le,” kata sang kakek pelan.
“Nggih mbah,” aku mengiyakan saja, urip iku urup, hidup itu menyala. Pepatah tua yang sangat mainstream kalau aku boleh bilang. Di rumah, di sekolah, di langgar, bahkan di lapang tempat aku berlatih bela diri. Ketika orang yang lebih tua diberi kesempatan untuk ngelungguhne wong atau memberi nasihat, besar kemungkinan falsafah yang satu ini akan keluar. Tapi semuanya sama saja, intinya adalah tentang hidup yang ‘menerangi’ kehidupan orang lain. Ya sudah, terus apa lagi?
“Nggah-nggih ki kowe mudeng tenan opo ora? (iya-iya itu kamu paham apa nggak?)” tanyanya lagi sambil terkekeh kali ini. Dialeknya tidak seperti dialek orang Malang, kemungkinan beliau berasal dari Jawa Tengah.
“Nggih ngoten, urip’e manungso niku kedahe saget nerangi sing liyane, (ya begitu, hidup manusia itu harusnya bisa menerangi yang lainnya)” jawabku sekenanya dengan bahasa Jawa krama lugu yang sebenarnya masih sedikit kasar. Sang kakek tersenyum lebar, terlihat ‘kenyal’ karena beberapa giginya sudah tanggal, membantu senyumnya semakin mudah untuk bertemu dengan daun telinganya.
“Nah, kuwi ngerti. Ning kowe ngerti opo ora maksude nerangi wong liyo kuwi sing piye? (Nah, itu tahu. Tapi kamu tahu apa tidak maksudnya menerangi orang lain itu yang bagaimana?)” Aku menggeleng pura-pura tidak tahu, aku memprediksi nasihat selanjutnya adalah tentang hidup yang bermanfaat bagi orang lain dan bla bla bla lainnya. Tapi yah, orang seusia beliau ini paling senang berbagi pengalaman, jadi akan kudengarkan saja pitedah dari sang kakek ini. Toh malam ini aku sudah tidak ada keperluan lagi.
“Kopine rumiyin mbah,” si Mbak penjaga warung menyodorkan secangkir kopi hitam pekat yang masih mengepul ke depan si kakek. Bau khas kopi bubuk murah yang biasa dijual di pasar-pasar menusuk hidungku yang memang sensitif dari dulu. Tapi kopi pahit seperti inilah yang malah menjadi favoritku.
“Suwun nduk,” si kakek tersenyum lagi dan langsung meraihnya. Sedikit terbelalak juga aku, kopi yang terlihat masih begitu panas mengepul, tanpa ragu langsung diseruputnya.
“Mboten panas mbah?” aku masih terkesima melihat kesaktian si kakek.
“Ora, wis kulino le. Kopi kui soyo panas sansoyo manteb, (gak, udah terbiasa nak. Kopi itu makin panas semakin mantab)” beliau tertawa lagi.
Aku mulai tertarik dengan si kakek ini. Gaya bicaranya yang santai dan sifatnya yang ramah serta mudah tertawa, mungkin jika aku bertemu dengannya saat usia kami sepantara, bisa jadi kami akan langsung menjadi teman baik.
“Nah, mbalik maneh wes, urip iku urup, (nah, kembali lagi, hidup itu menyala)”
“Pripun mbah? (bagaimana mbah?)”
“Sek, saiki rumangsamu uripmu iku uwis murup opo durung? (sebentar, sekarang menurutmu hidupmu itu sudah menyala apa belum?)”
“Mboten sumerep mbah, lha wong kula dereng ngertos maknane murup niku sing pripun, (“tidak tahu mbak, orang saya belum mengerti makna dari menyala itu yang bagaimana)” Sang kakek tertawa lagi. Fix, kakek ini juga termasuk golongan manusia receh.
“Nek ngono tak ceritani pisan awale aku malih doyan kopi panas ya, (kalau begitu aku ceritakan awal aku jadi doyan kopi panas ya,)” lagi-lagi beliau tertawa. Kulipat ibu jari dan telunjuk kiriku, mengisyaratkan angka 3, jumlah si kakek tertawa selama ngobrol denganku. Semoga saja jumlah jariku cukup untuk menghitungnya sampai nasihatnya selesai.
“Ngene-ngene ki aku biyen melu perang musuh londo lho, (begini begini dulu aku ikut perang melawan belanda lho)” yak, si kakek mulai ngelantur, mungkin beliau sudah lupa bahasan mengenai falsafah dan kopinya tadi. Yah, kalau dilihat-lihat dari fisik dan berdasarkan pengakuannya, aku tafsir umur si kakek sekitar 80 tahunan atau lebih. Jadi wajar lah sekiranya beliau pikun.
“Jaman iku, saben sore aku karo konco-kancaku sak pleton mesti dolanan kertu, sing kalah kudu patroli bengi nganti isuk njogo sing liyane turu angkler, (jaman itu, setiap sore aku dan teman-temanku satu pleton selalu main kartu, yang kalah harus patroli malam sampai pagi menjaga yang lain tidur nyenyak)” si kakek berhenti sejenak, diseruputnya kembali kopi yang sudah mulai dingin. “Tapi yo ancen dasar aku kalahan, aku mesti sing bagian patroli, (tapi ya memang dasarnya aku kalahan, aku selalu yang bagian patroli)” lalu beliau tertawa lagi. Kukembalikan jari telunjuk kiriku, sehingga sekarang mengisyaratkan angka 4.
“Bayangno wes, aku kudu melek nganti isuk meh saben dino, ngrungokno bocah-bocah kui mau ngorok, (bayangkan, aku harus melek sampai pagi hampir setiap hari, mendengarkan anak-anak itu tadi ngorok)” Ok, sekarang aku mulai melihat hubungan cerita beliau dengan kopi.
“Saking seringe aku patroli, nganti-nganti aku kebal karo kopi, sepiro lehku ngombe, tetep ae soyo ngantuk, (saking seringnya aku patroli, sampai-sampai aku kebal sama kopi, seberapapun aku minum, tetap makin nagntuk)” Dan beliau kembali tertawa, sekarang kelima jari tangan kiriku terbuka lebar, mengisyratkan angka 5.
“Akhire aku nduwe akal, le. Awale kopi sing iseh anget-anget rodok panas tak ombe. Tenan, mripatku langsung melek. Tapi yo ngono, soyo suwe aku maleh sansoyo kulino karo banyu panas. Nganti akhire aku ra ngerasakne opo-opo pas ngombe banyu umop, (Akhirnya aku punya akal, nak. Awalnya kopi yang masih anget-anget panas aku minum. Benar, mataku langsung melek. Tapi ya begitu, lama-lama aku jadi semakin terbiasa sama air panas. Sampai akhirnya aku tidak merasakan apa-apa saat minum air mendidih)” Kali ini matanya mulai memerah dan berair. Terlihat beliau menyeka air matanya.
“Punapa mbah? (kenapa mbah?)” tanyaku.
“Njilalah le, njilalah, (Kebetulan nak, kebetulan)” nadanya bergetar. “Dino iku, malem seloso legi, ba’da suroan. Banyu panas lan kopi uwis ra ono gunane marang aku. Aku keturon ning buri uwit trembesi. (Hari itu, malam selasa legi, selepas suroan. Air panas dan kopi sudah tidak ada gunanya padaku. Aku tertidur di belakang pohon trembesi) ” Kukepalkan kembali tangan kiriku, malu dan bersalah karena telah mengolok si kakek. Aku tidak berani bertanya kelanjutannya, kata njilalah yang beliau ucapkan 2 kali tadi sudah sangat sarat akan tanda bencana.
“Londo le, londo.. aku mencolot tangi pas krungu suara bedil. Tapi uwis telat, konco-kancaku sing pada turu dibantai karo londo. Lan sing sempet sadar namung mbales tembakane londo sak isone. Aku dewe gak iso obah le, sikilku keder gak iso dinggo ngadheg. Iki tugasku patroli njogo konco-kancaku, tapi aku malah keturon lan ngilangake nyawane uwong akeh, (Belanda nak, belanda.. aku melompat bangun saat mendengar suara tembakan. Tapi sudah terlambat, teman-temanku yang sedang tertidur dibantai Belanda. Dan yang sempat sadar hanya bisa membalas tembakan sebisanya. Aku sendiri tidak bisa bergerak nak, kakiku bergetar tidak bisa berdiri. Ini tugasku patroli menjaga teman-temanku, tapi aku malah tertidur dan menghilangkan nyawa banyak orang.)” Beliau kembali menyeka air matanya. “Urip iku urup, iki gak cuma perkoro nerangi wong liyo. Gak cuma perkoro migunani kanggo wong liyo. Tapi juga piye awakmu iso maksimalno migunamu kanggo wong liyo. Awakmu gak bakal ngerti kapan bakal ono musibah, mulo lakoni sak apik-apike, ojo ngeremehne masalah cilik, ojo nggampangne perkoro sing ketoke gak penting. (Hidup itu menyala, ini bukan hanya tentang menerangi orang lain. Tidak hanya sekedar berguna bagi orang lain. Tapi juga bagaimana kamu bisa memaksimalkan kegunaanmu untuk orang lain. Kamu tidak akan tahu kapan akan ada musilbah, jadi lakukan sebaik-baiknya, jangan meremehkan masalah kecil, jangan menggampangkan masalah yang kelihatannya tidak penting.)”
Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus menanggapi nasihat tak terduga dari sang kakek. Inti isi nasihatnya memang masih sama dengan apa yang selama ini aku dengar. Tapi ketika beliau memberikan sebuah contoh semengerikan itu, rasanya falsafah tersebut jadi begitu terpatri dalam ingatanku. Suasana warung hening sebentar, situasi awkward seperti ini membuatku benar-benar gelisah.
“Matur suwun sanget mbah, mulai sak niki kula bakal ngusahane dados lare kang murup,” Aku mencoba berterima kasih agar tidak terlihat kurang ajar. “Mbak, aku dek mau kopi karo gorengan 3, kopine mbahe tak bayari pisan wae, (Mbak Ni, aku tadi kopi sama gorengan 3, kopinya kakek aku bayarin sekalian saja)” Kataku pada mbak penjaga warung. Sang kakek tersenyum sambil mengangguk.
“Nggih ngoten mawon, kulo pamit rumiyin, monggo mbah,” Aku menyalami sang kakek.
“Oh, iyo le, ojo lali dadi wong sing murup yo,”
“Nggih mbah,” Aku meninggalkan warung sederhana pinggir jalan tersebut, warung yang pertama kali aku kunjungi dalam rangka survey warung kopi mana yang paling enak seantero Malang. Dan aku malah mendapatkan pelajaran yang sangat berharga bagiku.
—
—
——-
—
—
“Mbah, jenengan iki kok senengane sek mbujuk ae sih? Mesakne lho areke percoyo. Mbok ndang ngomong nek jenengan sering gak sabaran nunggu kopine adem. (Mbah, Anda ini kok sukanya masih bohong saja sih? Kasihan anaknya percaya lho. Mbok bilang saja kalau Anda sering tidak sabaran menunggu kopinya dingin.)” tegur Mbak penjaga warung pada si kakek.
“Ha Ha Ha, Yo sopo sing ngiro lek aktingku iseh mbois? Lumayan iki kopine oleh gratis (Ha Ha Ha, Ya siapa yang mengira kalau aktingku masih keren? Lumayan ini kopinya dapat gratis)”
“Ncene, makane ojo kerep begadang mbah, arek e percoyo iku polah jenengan wes koyo umur 80an (memang, makanya jangan sering begadang mbah, anaknya percaya itu karena Anda sudah kayak umur 80an)” Mereka tertawa bersama.