Oleh: Gladys
Sore ini sehabis ashar, seperti biasa Bapak duduk di kursi di teras rumah. Secangkir kopi hitam tanpa gula tersaji di atas meja. Asapnya masih mengepul keluar dari dalam cangkir, beradu dengan asap rokok di tangan kirinya. Bapak menyesap rokoknya sekali, lalu meneguk kopinya. Katanya, itulah cara terbaik ketika meminum kopi.
Seperti biasa pula sore ini aku duduk di kursi di samping Bapak. Aku masih mengenakan kemeja kantor dan membuka bungkus bakpao yang tadi kubeli saat perjalanan pulang. Asapnya juga masih mengepul tebal ketika aku membelah bakpao itu menjadi dua. Kutawarkan setengah bagian kepada Bapak, tapi tentu saja Bapak menolaknya. Ia berisyarat dengan mengangkat kopi di tangan kanannya. Wajahnya tanpa senyum, keriput di mukanya semakin jelas, perutnya semakin besar, dan wajahnya tidak sesegar dulu. Bapak yang sudah pensiun sehari-hari hanya mengurus burung-burung piaraannya dan sesekali membantu Ibu yang berjualan kue di pasar.
“Kamu masih sibuk, Dit?” tanya Bapak.
“Alhamdulillah sudah tidak terlalu sibuk, tinggal sisa-sisanya saja, Pak,” jawabnya setelah menelan bakpao yang baru kugigit ketika Bapak bertanya.
“Tapi habis itu pasti proyek baru datang lagi,” kata Bapak. Aku hanya bisa tertawa kecil. “Jaga kesehatanmu,” kata Bapak lagi. Aku hanya mengangguk sambil menghabiskan bakpao di tanganku.
Langit sore masih cerah, tetapi burung-burung sudah mulai terbang rendah karena tekanan udara yang semakin meningkat. Matahari lebih suka bersinar lebih lama akhir-akhir ini. Panasnya masih terasa walau ketika rembulan yang menggantikan tugasnya. Aku membuka kancing bajuku yang paling atas dan mengibas-ngibaskan tanganku ke leher.
“Sudah mau Oktober ya?” kata Bapak. Aku menoleh padanya. “Tidak terasa sudah lebih setengah abad sejak peristiwa itu.”
Aku tahu benar peristiwa apa yang dikatakan Bapak. Tapi aku terdiam melihat Bapak yang menatap kosong taman rumah di depannya. Wajahnya misterius antara menerka-nerka atau meratapi. Tapi mulai terlihat bulir air mata di dekat matanya. Bapak selalu emosional ketika mengingat peristiwa itu. Peristiwa dimana kakek mati terbunuh di tangan pemberontak.
“Bapak masih ingat ketika sawah dan tanah direbut secara paksa oleh para petani. Tak ada kata ampun dari mereka. Celurit, cangkul, pedang, semua mereka bawa demi sebuah lahan. Aidit memang pintar sekali berorasi,” cerita Bapak menyebutkan nama salah satu pemimpin pemberontak kala itu. “Bapak berlagak berani melawan mereka, malah kena sabet.”
Bapak mengangkat kaki kirinya. Ada bekas luka sekitar 10 cm menjalar dari bawah lutut hingga betisnya. Bekas sabetan celurit itu hampir saja memotong kaki Bapak yang kala itu masih SD. Beliau selalu cerita bagaimana dramatisnya kejadian itu. Bapak menahan masuk para petani ke sawah milik kakek. Lengah dan tidak berdaya melawan petani yang tubuhnya 3 kali lebih besar darinya, kakinya tersabet celurit petani. Candanya adalah aku bisa melihat anatomi jaringan otot manusia lewat lukanya itu. Beruntung nenek waktu itu pernah disekolahkan ke sekolah perawat dan merawat luka Bapak sampai sembuh.
Aku sudah ratusan mungkin ribuan kali mendengar cerita ini. Tidak hanya ketika Oktober akan datang, tapi setiap ada kesempatan beliau akan menceritakannya. Adikku tidak suka mendengar cerita yang diulang-ulang, tapi aku senang. Ada sedikit cahaya di wajah Bapak ketika ia bercerita. Seperti mengenang masa lalu yang menyakitkan namun meninggalkan banyak kisah tidak terduga yang membuatnya rindu.
“Negeri ini kelam. Masa lalu yang tidak pernah sepadan dengan gemerlapnya masa sekarang. Lama-lama identitas terkoyak oleh pemudanya yang tidak lagi mampu mempertahankan persatuan bangsa. Tak seorang pun bisa luput dari serangan mulut-mulut virtual dan visual,” Bapak menghentikan bicaranya sebentar lalu menengok padaku. “Kamu ngerti kan maksud Bapak?”
“Iya, Pak,” jawabku sambil tersenyum. Bapak melanjutkan bicaranya.
“Bapak kasihan lihat pemuda yang hidup di masa sekarang. Tak ada lagi toleransi dalam kehidupannya. Perbedaan akan selalu ada, namun bagaimana kita menyikapi perbedaan itulah yang tidak bisa kita tukarkan dengan persatuan bangsa. Padahal sudah pernah terjadi perpecahan di seluruh negeri, tapi mereka sama sekali tidak bisa mengambil pelajaran.
Sejarah itu seharusnya seperti bayangan, mengikuti kemana pun kamu pergi. Ketika matahari mulai sejajar dengan dirimu, maka saat itu pula kamu menyatu dengan sejarah. Lirik kembali apa yang pernah terjadi dan konsekuensinya. Lihat bagaimana mereka menyelesaikan masalah. Ambil cara terbaik dan terapkan pada masalahmu saat ini,”
Aku terdiam. Aku mencoba mencerna perkataan Bapak. Bapak hanya seorang pensiunan PNS, tapi begitu mementingkan bangsanya. Mungkin karena dia pernah terlibat masa-masa perjuangan. Tapi tidak, aku juga merasakan hal yang sama dengan Bapak. Di kantor, di rumah makan, di lapangan futsal, aku tidak pernah berhenti melihat orang-orang ingin pendapatnya paling benar. Mereka lupa bahwa perbedaan selalu ada. Dan sejarah sudah pernah mencatat apa yang terjadi ketika perbedaan menjadi sesuatu yang dipaksakan.
“Kamu biarkan saja kalau temanmu berlagak seperti itu. Tinggalkan!” kata Bapak sambil mengesap kopinya yang terakhir kali.
Ibu memanggil dari dalam meminta untuk dibantu menyiapkan makan malam. Tidak terasa langit sudah redup. Bapak bangkit dari kursinya sambil membawa cangkir kopinya.
“Pak,” panggilku. Bapak berhenti dan menengok padaku. “Besok sebelum Adit berangkat kerja, kita ke makam kakek dulu ya,” kataku. Bapak mengangguk lalu masuk ke dalam rumah.
Aku melihat taman yang sekarang gelap gulita. Lampu belum dinyalakan. Aku tidak bisa melihat tanaman kesayangan Ibu atau kolam ikan kecil. Kalau kupikir sejarah seperti bayangan seperti yang diucapkan Bapak, mungkin inilah keadaan bangsa saat ini. Tiba-tiba lampu dinyalakan dan aku bisa melihat semua penghuni taman dengan jelas. Wujudnya dan bayangannya terpancar jelas. Ah, mungkin akan ada saat seperti ini datang.