DISPLAY – Pers Mahasiswa, atau yang lebih dikenal sebagai persma, merupakan suatu organisasi mahasiswa (ormawa) yang berkecimpung di dunia pers dan kejurnalistikan. Seperti layaknya ormawa pada umumnya, pekerjaan dilakukan secara sukarela tanpa gaji, dan lebih condong banyak mengeluarkan uang, baik untuk kas keorganisasian maupun untuk seragam kerja yang tidak murah juga umumnya. Di satu sisi, hal ini memberikan kebebasan persma untuk tidak mengikuti arahan stakeholder, namun di sisi lain hal ini juga dapat berpotensi menurunkan semangat para anggota persma yang bekerja tanpa upah ini.
Meskipun dengan sifat pengerjaan secara sukarela ini, persma sendiri dituntut untuk tetap mengikuti idealisme pers, termasuk menjaga netralitas, independensi dan etika jurnalistik, sesuai dengan kode etik persma yang tertulis di halaman web persmahasiswa.id. Sayangnya, meskipun persma bekerja dengan memegang idealisme yang tinggi, pekerjaan ini tidak memberikan perlindungan yang kuat. UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sendiri diperuntukkan untuk pers nasional―yang berarti pers mahasiswa tidak masuk ke dalam daftar unit yang mendapatkan perlindungan dari undang-undang ini. Lantas, yang terjadi adalah rentannya persma terhadap penyensoran, pembungkaman, ataupun pembredelan. Seperti yang sempat terjadi pada Suara USU, dikutip dari tirto.id, pada 2019 silam, persma dari Universitas Sumatera Utara (USU) diberedel karena unggahan cerpen yang dianggap “mempromosikan LGBT”. Tidak jarang juga terjadi penangkapan persma di kegiatan aksi, seperti pada aksi hari buruh kemarin (1/4). Pada unggahan di akun Instagram LPM Marhaen, dua reporter dari LPM Marhaen ditangkap oleh aparat polisi di kawasan MH Thamrin, Jakarta, meskipun telah menunjukkan kartu identitas pers mereka. Lalu, kemanakah harus persma berlindung ketika dihadapi masalah semacam ini? Lalu, kemanakah harus persma berlindung ketika dihadapi masalah semacam ini?
Dilansir dari jogja.idntimes.com, kebebasan persma secara ideal masih terjamin di UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada pasal yang menyatakan kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap manusia. Tentunya, dasar ini tidak cukup untuk melindungi kebebasan persma, dan perlu ada bantuan eksternal untuk mendorong perjuangan kebebasan ini. Oleh karena itu, organisasi persma secara umum dianjurkan untuk berjejaring satu sama lain. Salah satu wadah berjejaring di persma adalah organisasi Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia, atau lebih dikenal sebagai PPMI.
Menurut Akbar Farhatani, Sekjen PPMI Cabang Yogyakarta periode 2019-2020, tujuan pentingnya berhimpun dengan sesama persma terletak di sisi advokasi. Pasal kebebasan berpendapat secara sendiri bukan merupakan landasan yang kuat untuk memperjuangkan kebebasan persma. Dengan berhimpun, suatu unit persma mampu mendampingi dan mengawal sesama persma agar ikut memperjuangkan kebebasan persma yang dibungkam, diintimidasi, diancam, maupun dibredel oleh pihak-pihak eksternal. Menurut Sekjen PPMI Nasional Periode 2019-2020, Rahmat Ali, PPMI bisa menjadi kapal perang yang menyerang bersama, maupun kapal barang yang memberikan amunisi (pembekalan) untuk mengatasi permasalahan secara mandiri. Hal ini menandakan akan adanya dukungan dari PPMI untuk mengatasi permasalah yang akan dihadapi unit-unit persma jika berhimpun bersama.
Selain itu, tentu persma harus tetap memperhatikan kualitas keredaksian mereka sendiri. Argumentasi kebebasan pers akan sulit untuk dipertahankan ketika redaksi yang dibawa tidak dilakukan secara bertanggung jawab. Ketua AJI Yogyakarta periode 2019-2020, Tommy Apriando mengatakan perlunya menjaga kualitas redaksi suatu persma dengan tetap menjunjung tinggi kode etik. Hal ini termasuk melayani ralat, koreksi, serta hak jawab sebagai bagian dari pertanggungjawaban suatu unit persma di suatu kampus. Selama menjaga kualitas keredaksian dari suatu unit persma, pihak-pihak eksternal akan semakin sulit untuk mencari celah agar dapat membungkam persma yang melawan. (nob)