
Pendidikan bidan bagi wanita pribumi di Batavia pertama kali dibuka oleh dokter militer Belanda, DR. W. Bosch di tahun 1851. Kurangnya peserta didik menyebabkan pendidikan ini tidak berlangsung lama. Namun, pendidikan bidan ini dianggap sebuah gerakan positif yang sangat berpengaruh di sejarah perjalanan pendidikan bidan di Indonesia. Adanya batu loncatan tersebut menggerakkan Rumah Sakit Militer di Batavia untuk membuka kembali pendidikan bidan bagi wanita pribumi pada tahun 1902.
Di tahun 1904, pendidikan bidan bagi wanita Indonesia resmi dibuka di Makassar. Lulusannya harus bersedia ditempatkan di mana saja berdasarkan dengan daerah di mana tenaganya dibutuhkan. Mereka juga harus mau menolong masyarakat yang tidak atau bahkan kurang mampu secara cuma-cuma. Pada tahun tersebut, mereka mendapat tunjangan dari pemerintah kurang lebih 15-25 Gulden tiap bulannya.
Bentuk implementasi dari pendidikan bidan tersebut menjadi pendorong bagi beberapa rumah sakit di masa itu untuk terus meningkatkan kualitas tenaga kerja. Terbukti pada tahun 1911, pendidikan tenaga keperawatan secara terencana dimulai di RSUP Semarang dan Batavia. Awalnya rumah sakit ini hanya menerima peserta didik pria. Tiga tahun setelahnya, rumah sakit ini mulai menerima peserta didik wanita dengan pendidikan keperawatan selama 4 tahun.
Pada tahun 1935, pendidikan bidan sedang gencar-gencarnya berkembang. Pemerintah kolonial Belanda mulai mendidik bidan lulusan SLTP bagian B. Beberapa sekolah bidan juga mulai dibuka di beberapa kota besar lainnya, seperti Jakarta, Semarang, Palang Dua. Peraturan yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan lulusan bidan juga mulai dilansirkan. Bidan dengan latar belakang setingkat SLTP bagian B (Mulo) dengan lama pendidikan tiga tahun disebut bidan kelas satu, sedangkan bidan dari lulusan perawat disebut bidan kelas dua. Dua hal tersebut digunakan sebagai standar gaji pokok dan tunjangan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya sekitar tahun 1950-1953, sekolah bidan dari lulusan SMP dengan masa pendidikan tiga tahun dibuka. Cukup banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk menolong persalinan, sehingga pendidikan pembantu bidan dibuka sampai sekitar tahun 1976. Pendidikan pembantu bidan atau yang disebut Penjenang Kesehatan E merupakan lulusan SMP dengan tambahan dua tahun pendidikan kebidanan dasar. Sebagian besar lulusan PK/E melanjutkan pendidikan kebidanan selama dua tahun lagi. Pendidikan kebidanan di Indonesia terus menerus mengalami perubahan yang cukup signifikan.
24 Juni 1951, konferensi bidan pertama indonesia berhasil diselenggarakan. Adanya konferensi ini menunjukkan bahwa profesi bidan sudah mulai resmi diakui oleh negara Indonesia. Konferensi bidan tersebut berhasil membentuk landasan yang kuat dengan didirikannya organisasi profesi bernama Ikatan Bidan Indonesia. Selain itu, konferensi tersebut juga berhasil menentukan pengurus besar Ikatan Bidan Indonesia di Jakarta serta menetapkan daerah-daerah yang akan dibentuk cabang dan ranting organisasi.
Pada tahun 1954, tepatnya tanggal 15 Oktober, IBI disahkan menjadi organisasi berbadan hukum dan sudah terdaftar dalam Lembaga Negara nomor: J.A.5/92/7 Tahun 1954 tanggal 15 Oktober 1954 (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia). Dengan tujuan menggalang persatuan dan persaudaraan antar sesama bidan, membina pengetahuan dan keterampilan anggota dalam profesi kebidanan, membantu pemerintah dalam pembangunan nasional, serta meningkatkan martabat dan kedudukan bidan dalam masyarakat. Ikatan Bidan Indonesia terus mengalami perkembangan yang nyata.
Pada tahun 1982, kongres IBI yang kedelapan menetapkan perubahan nama Pengurus Besar IBI menjadi Pengurus Pusat IBI. Selain itu juga diadakan pengukuhan anggota pengurus Yayasan Buah Delima yang memiliki tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota IBI. Di tahun tersebut, IBI sudah memiliki 249 cabang di Indonesia. Tiga tahun kemudian, IBI mengadakan kongres di luar pulau Jawa pertama kalinya. IBI juga mulai mengikuti pertemuan ICM (International Confederation of Midwife) bersama beberapa negara besar lainnya.
Adanya Ikatan Bidan Indonesia menunjukkan bahwa sebenarnya tenaga bidan di Indonesia bersifat krusial. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini juga diharapkan bisa menunjang pemerataan bidan di seluruh pelosok tanah air dapat tercukupi. Pendidikan kebidanan juga perlu melangkah lebih baik lagi untuk meningkatkan kompetensi para calon bidan. Dengan demikian, profesi bidan akan mengalami peningkatan kesejahteraan serta pengakuan yang lebih tinggi dari negara Indonesia.